Suatu hari, Rasulullah SAW mengutus Hathib bin Balta’ah untuk memberikan surat kepada raja Mesir yang beragama Nasrani, yakni raja Muqauqis. Surat itu berisi seruan kepada Islam.
Setelah tiba di Mesir, Hathib menyerahkan surat itu kepada Muqauqis. Muqauqis lalu membuka dan membacanya. Tidak lama kemudian, ia bertanya kepada Hathib. “Kalau betul dia seorang Nabi, mengapa ia tidak mendoakan saja orang-orang yang mengingkarinya dan mengusirnya dari negerinya itu, supaya dibinasakan saja?”
Mendengar pertanyaan itu, Hathib menjawab. “Kalau demikian, mengapa Nabi Isa juga tidak mendoakan saja kepada Allah, supaya membinasakan kaumnya, padahal mereka sudah menangkapnya untuk membunuhnya?”
Mendengar jawaban Hathib, Muqauqis terpana dan berkata, “Betul. Tuan adalah seorang hakim (mempunyai hikmah) yang datang dari lingkungan seorang hakim. Sesungguhnya kami menganut satu agama, dan kami tidak akan melepaskannya, kecuali ada sesuatu yang lebih baik dari itu,” jelas Muqauqis.
“Ini bukan soal menukar agama, akan tetapi kami menyeru tuan kepada agama Islam yang Allah mencukupkan dengannya, yang lebur di dalamnya agama selainnya. Sesungguhnya Nabi ini menyeru manusia; maka yang paling keras menentangnya adalah Quraisy. Yang paling memusuhi mereka adalah Yahudi, dan yang paling dekat adalah kaum Nasrani. Demi Zat yang umurku di tangan-Nya, apa yang dikabarkan oleh Musa tentang Isa, tidak berbeda dengan apa yang dikabarkan oleh Isa tentang Muhammad. Dan seruan kami kepada tuan supaya percaya kepada Alquran. Tidak berbeda dari seruan tuan kepada ahli Taurat supaya percaya kepada Injil.”
Hathib melanjutkan, “Setiap Nabi telah sampai kepada satu kaum dan kaum itu adalah umatnya maka wajib atas mereka menaatinya, dan tuan termasuk orang-orang yang didapati oleh Nabi itu. Dan bukanlah kami melarang tuan dari agama al-Masih (menyuruh mengingkari Nabi Isa), akan tetapi kami menyuruh tuan berbuat demikian (tetap mengakui Isa sebagai Nabi).”
Mendengar penuturan dari Hathib, Muqauqis pun berkata, “Ya, kudapati padanya tanda-tanda kenabian, yakni dengan mengeluarkan apa yang tersembunyi dan mengabarkan apa yang rahasia. Aku akan memikirkannya dahulu.”
Kemudian, surat itu disimpan dalam sebuah kotak, lalu ia membalasnya dengan kata-kata yang baik dan hormat. Surat balasan itu dititipkan kepada Hathib bin Balta’ah beserta beberapa hadiah untuk Rasulullah SAW, sebagaimana yang lazim dilakukan menurut adat kebiasaan raja-raja di zaman itu.
Kisah di atas menjadi contoh bagi kita untuk mendakwahkan Islam dengan hikmah (kebijaksanaan). Islam bukanlah racun yang merusak dan mematikan manusia, akan tetapi obat penawar yang menyembuhkan penyakit kemaksiatan dan kedurhakaan menjadi ketaatan dan ketundukan.
Berdakwah dengan hikmah (bijaksana) diwujudkan dengan menanamkan rahasia dan manfaat dari tiap-tiap sesuatu, baik dengan perkataan maupun tindakan. Dengan demikian, orang yang mendengar seruan dakwah bisa memahami dan mengakui kebenaran Islam. Wallahu a’lam.
Sumber : broadcast dari teman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar